Beranda | Artikel
50 Faidah dari Kisah Luqmân Al-Hakim(2)
Sabtu, 24 Desember 2022

50 FAIDAH DARI KISAH LUQMAN AL-HAKIM[1]

Oleh
Prof. Dr. ‘Abdurrazzaaq bin ‘Abdil-Muhsin Al-‘Abbaad

وَاِذْ قَالَ لُقْمٰنُ لِابْنِهٖ وَهُوَ يَعِظُهٗ يٰبُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللّٰهِ ۗاِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيْمٌ ١٣ وَوَصَّيْنَا الْاِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِۚ حَمَلَتْهُ اُمُّهٗ وَهْنًا عَلٰى وَهْنٍ وَّفِصَالُهٗ فِيْ عَامَيْنِ اَنِ اشْكُرْ لِيْ وَلِوَالِدَيْكَۗ اِلَيَّ الْمَصِيْرُ

Dan (Ingatlah) ketika Luqmân berkata kepada anaknya, di waktu dia memberi pelajaran kepadanya, ‘Hai anakku ! Janganlah kamu mempersekutukan Allâh ! Sesungguhnya mempersekutukan (Allâh) adalah benar-benar kezaliman yang besar. 
Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun, bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. [Luqmân/31:13-14]

Faidah Kesepuluh
(Pada ayat ini terdapat penjelasan tentang) pentingnya cara menyampaikan pelajaran (al-wa’dzh) dalam mendidik dan mengajar. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَاِذْ قَالَ لُقْمٰنُ لِابْنِهٖ وَهُوَ يَعِظُهٗ 

Dan (Ingatlah) ketika Luqmân berkata kepada anaknya, di waktu dia memberi pelajaran kepadanya

Cara menyampaikan nasihat memiliki pengaruh besar dalam mendidik manusia dan para pemuda. al-Wa’dzh, sebagaimana dikatakan oleh para Ulama, (artinya penyampaian) ilmu yang diajarkan kepada manusia agar diraih dan diamalkan itu harus disertai dengan targhîb (motivasi) dan tarhîb (ancaman). Artinya, seorang da’i  (saat) menyebutkan perintah agar menusia melakukan kebaikan (maka ini harus) disertai dengan penyebutan hal-hal yang memotivasi manusia untuk melakukannya dan (saat) menyebutkan  larangan (maka ini harus) disertai dengan (penyebutan) hal-hal yang bisa menimbulkan rasa takut (untuk melaksanakannya). Jadi yang dinamakan dengan al-wa’dzh adalah memerintahkan kepada kebaikan dan melarang dari keburukan disertai dengan targhîb dan tarhîb.

at-Targhîb dilakukan dengan cara menyebutkan faidah-faidah, hasil-hasil dan pengaruh-pengaruh (baik) yang akan diraih oleh seorang apabila mengamalkan perintah tersebut. Adapun at-tarhîb dapat dilakukan dengan menyebutkan keburukan-keburukan dan bahaya-bahaya yang akan menimpa orang yang mengerjakan suatu yang terlarang.

Itulah yang dilakukan oleh Luqmân al-Hakîm, nasihat-nasihatnya berisi targhîb yang bermanfaat yang bisa memotivasi orang yang didakwahi agar bersedia melakukan apa yang didakwahkan dengan cara terbaik, dan juga berisi tarhîb yang dapat membentengi orang yang didakwahi dari mengerjakan dosa dan kesalahan.

Faidah Kesebelas
Pada ayat ini terdapat penjelasan tentang) pentingnya perbuatan ramah dan besarnya pengaruh perbuatan ramah tersebut kepada orang yang mengambil ilmu dan belajar dengannya.

Ketika Anda ingin memberikan pelajaran dan memberikan nasihat kepada seseorang, sudah sepantasnya Anda berbuat ramah kepadanya. Sebutkanlah ungkapan-ungkapan yang lembut dan perkataan yang indah yang dapat memasukkan perkataan Anda ke dalam hatinya dan dapat membuka hatinya untuk menerima perkataan Anda.

Perhatikanlah Luqmân ketika beliau memberi pelajaran kepada anaknya, beliau mengungkapkan perkataan yang indah, menggunakan cara yang berpengaruh dan menyampaikan kata-kata yang masuk ke hati.

Lihatlah kelembutan perkataannya kepada anaknya ketika dia memberikan pelajaran, “Ya bunayya[2] (Wahai anak kecilku)!” Perkataan tersebut berulang-ulang disebutkan, karena perkataan tersebut memiliki arti penting di dalam hati sang Anak. Perkataan tersebut memiliki pengaruh pada diri anaknya dan sangat membantunya untuk mendengarkan pelajaran tersebut dengan baik, sehingga dia dapat benar-benar mengambil faidah dari pelajaran tersebut. Betapa besar pengaruh suatu perkataan apabila disampaikan dengan cara yang ramah.

Apabila pelajaran disampaikan dengan cara tidak ramah, seperti yang dikatakan oleh seseorang ketika dia menasihati atau melarang, “Ya walad[3] (Wahai anak)!” atau sebagaimana yang disebutkan oleh sebagian orang ketika berbicara dengan anaknya atau ketika melarangnya untuk melakukan sesuatu, mereka memanggilnya dengan nama-nama hewan. Bagaimana mungkin hati orang yang dinasihati akan terbuka untuk menerima nasehat dengan cara yang dibenci ini. Tidak diragukan bahwa ini akan menutup pikiran dan menjadikannya tidak bersemangat (untuk menerimanya).

Ada perbedaan yang mencolok antara cara penyampaian tersebut dengan cara pemberi nasehat dengan cara ramah, penuh rasa cinta. Sebagaimana ucapan Luqmân kepada anaknya, “Ya Bunayya (Wahai anak kecilku)!”, (sebuah panggilan) dengan disertai kasih sayang, sifat kebapakan, lembut dan cinta, sehingga hati anaknya pun terbuka dan siap menerima nasehat.

Perhatikan juga perbuatan ramah yang baik yang terdapat dalam hadits Mu’âdz bin Jabal Radhiyallahu anhu. Pada suatu hari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang tangannya dan berkata, “Ya Mu’âdz! Sesungguhnya aku menyayangimu.” Mu’âdz pun mengatakan, “Demi ayah dan ibuku, ya Rasulullah! Saya juga menyayangimu.” Beliau pun berkata, “Saya wasiatkan kepadamu ya Mu’âdz, setelah engkau shalat, janganlah pernah engkau tidak membaca :

اللَّهُمَّ أَعِنِّى عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ

Ya Allâh ! Bantulah diriku untuk mengingat-Mu dan bersyukur kepada-Mu dan dapat beribadah dengan baik[4]

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai perkataannya dengan ramah dan lembut, sehingga Mu’âdz Radhiyallahu anhu dapat menerima faidah, terbukalah hatinya. Cara seperti ini harus digunakan ketika berdakwah menuju jalan Allâh Azza wa Jalla dan ketika mengajarkan kebaikan kepada manusia.

Faidah Kedua Belas
(Pada ayat ini terdapat penjelasan tentang) pentingnya memperhatikan prioritas dalam berdakwah menuju jalan Allâh Azza wa Jalla . Ini sudah sepantasnya diperhatikan oleh para orang tua, para pendidik dan para da’i, ketika ingin mengajak orang kepada kebaikan, maka mulailah dengan hal yang paling penting, kemudian yang penting, kemudian baru kepada yang kurang penting.

Begitu pula pada pendidikan anak-anak dan pengkaderan generasi-generasi muda. Hal pertama yang harus kita lakukan adalah menanamkan aqidah yang benar dan keimanan, setelah itu, kita lanjutkan dengan mengajarkan ibadah, adab dan akhlak. Oleh karena itu, ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Mu’âdz bin Jabal Radhiyallahu anhu ke Yaman, beliau berkata kepadanya :

إِنَّكَ تَقْدَمُ عَلَى قَوْمٍ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَى أَنْ يُوَحِّدُوا اللَّهَ تَعَالَى

Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari kalangan ahli kitab. Jadikanlah hal pertama yang engkau serukan kepada mereka agar mereka mentauhidkan Allâh Azza wa Jalla [5]

Inilah yang dilakukan oleh Luqmân al-Hakîm ketika hendak berwasiat kepada anaknya dengan beberapa wasiat penuh manfaat yang perlu diwasiatkan dan didakwahkan. Beliau memulainya dengan berkata :

يٰبُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللّٰهِ ۗ

Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allâh !

Karena beliau memperhatikan prioritas (dalam berdakwah).

Faidah Ketiga Belas
Sesungguhnya kesyirikan adalah dosa yang terbesar dan paling berbahaya. Syirik adalah larangan Allâh Azza wa Jalla yang paling besar. Kita mengetahui hal ini dengan (melihat) apa yang dilakukan oleh Luqmân al-Hakiim, beliau memulainya dengan memperingatkan hal yang paling berbahaya. Inilah jalan yang ditempuh oleh para pemberi nasihat ketika mereka melarang dari beberapa hal yang berbahaya. Mereka mulai dari hal yang paling berbahaya.

Oleh karena itu, Luqmân al-Hakîm melarang anaknya untuk berbuat syirik. Kalau diperhatikan dalam ayat-ayat yang penuh berkah ini, beliau melarang dari berbagai hal, seperti : sombong, menipu dan congkak; Akan tetapi, larangan yang pertama kali diucapkan adalah larangan untuk berbuat syirik kepada Allâh Azza wa Jalla . Ini menunjukkan bahwa kesyirikan adalah hal yang paling berbahaya dan yang paling besar keburukannya.

Faidah Keempat Belas
(Pada ayat ini terdapat penjelasan tentang) pentingnya menanamkan pada anak-anak sejak dini prihal tauhid, ikhlas dan (kewajiban) menjauhi perbuatan syirik. Faidah ini juga didapatkan pada wasiat ini :

يٰبُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللّٰهِ ۗ

Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allâh !

Anak-anak perlu diingatkan sejak dini akan bahaya syirik dan perlu diajak untuk bertauhid dan ikhlas. Apabila seorang anak diajarkan tauhid sejak dini, maka kelak -dengan izin Allâh – itu akan sangat manfaat baginya.

Oleh karena itu, di antara hikmah yang terkandung pada pemberian nama anak dengan nama ‘Abdullaah dan ‘Abdurrahmân, sebagaimana disebutkan dalam hadits :

خَيْرُ الأَسْمَاءِ عَبْدُ اللهِ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ

Sebaik-baik nama adalah ‘Abdullâh dan ‘Abdurrahmân[6]

adalah agar anak tersebut tumbuh di atas tauhid, dan berkembang dalam keadaan dia mengetahui bahwa dia adalah hamba Allâh, bukan hamba hawa nafsu, bukan pula hamba dunia, bukan hamba setan dan bukan hamba untuk kepentingan-kepentingan dirinya sendiri. Tetapi, dia adalah hamba Allâh Azza wa Jalla .

Dia berkembang di atas landasan keimanan dan aqidah, yang merupakan pondasi agama, keyakinan dan kepercayaan. Agama tidak akan bisa berdiri dan berjalan lurus kecuali berlandaskan tauhid dan ikhlas kepada Allâh Azza wa Jalla .

Faidah Kelima Belas
Sesungguhnya kesyirikan adalah kezaliman dan pelanggaran yang paling besar. Hal ini dapat kita petik dari firman Allâh Azza wa Jalla :

 ۗاِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيْمٌ 

Sesungguhnya mempersekutukan (Allâh ) adalah benar-benar kezaliman yang besar

Zhalim adalah meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya. Adakah kezhaliman yang lebih besar daripada kezhaliman meletakkan peribadatan tidak pada tempatnya ? Bagaimana mungkin peribadatan diserahkan kepada makhluk yang lemah, penuh kekurangan, tidak mampu memberikan manfaat untuk dirinya dan juga tidak mengindarkan dirinya dari bahaya dan tidak bisa menghidupkan dan juga membangkitkan.

Dosa manakah yang lebih besar daripada dosa ini ? Allâh Azza wa Jalla telah menciptakan manusia, tetapi ternyata manusia memalingkan ibadah kepada selain-Nya.  Allâh Azza wa Jalla telah memberinya rezeki, tetapi ternyata dia meminta rezeki kepada selain-Nya. Allâh telah menyembuhkannya, tetapi dia memohon kesembuhan kepada selain Allâh Azza wa Jalla . Kezhaliman manakah yang lebih besar daripada kezhaliman ini?

Faidah Keenam Belas
Orang yang sedang belajar atau orang yang didakwahi perlu mengetahui buah atau hasil (yang akan dipetik) dari perintah-perintah (jika dilaksanakan) dan bahaya (yang akan menimpanya jika dia menerjang) larangan-larangan, agar dia memiliki kemampuan untuk menjalankannya.

Jika mereka ini diberitahu tentang suatu perintah, maka perlu juga disebutkan faidah dan hasil dari perintah tersebut. Jika mereka diingatkan tentang suatu larangan, maka peringatan ini perlu disertai dengan penyebutan kejelekan yang akan didapatkan oleh orang-orang yang menerjang larangan-larangan ersebut.

Pelajaran ini dipetik dari kisah Luqmân al-Hakîm di beberapa tempat.

Faidah Ketujuh Belas
Pada ayat ini terdapat wasiat untuk berbakti, berbuat baik, berlaku mulia kepada kedua orang tua dan memperhatikan hak-hak mereka. Ini terdapat pada firman Allâh Azza wa Jalla :

وَوَصَّيْنَا الْاِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِۚ حَمَلَتْهُ اُمُّهٗ وَهْنًا عَلٰى وَهْنٍ وَّفِصَالُهٗ فِيْ عَامَيْنِ اَنِ اشْكُرْ لِيْ وَلِوَالِدَيْكَۗ اِلَيَّ الْمَصِيْرُ

Dan Kami perintahkan kepada manusia (untuk berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. (Oleh karena itu) bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu, hanya kepada-Ku-lah kamu kembali. [Luqmân/31:14]

Wasiat untuk berbuat baik kepada kedua orang tua memliki kedudukan yang sangat agung. Dan yang menjadi wasiat itu hanyalah hal-hal yang besar.Jika kita lihat, wasiat di sini berasal dari Rabb semesta alam Azza wa Jalla. Oleh karena itu, beberapa Ulama tafsir mengatakan bahwa perkataan :

وَوَصَّيْنَا الْاِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِۚ

Dan Kami perintahkan kepada manusia (untuk berbuat baik) kepada kedua orang tuanya.

Yang disebutkan saat menceritakan wasiat Luqmân itu merupakan wasiat dari Allâh Azza wa Jalla agar manusia berbuat baik kepada kedua orang tuanya.

Oleh karena itu dalam ayat ini terdapat beberapa faidah yang agung dan penuh dengan berkah yaitu wasiat tentang kedua orang tua agar kita mengenal hak-hak mereka, berbuat baik dan berbakti kepada keduanya serta memenuhi segala hak keduanya.

Faidah Kedelapan Belas
Sesungguhnya diantara yang paling bisa membangkitkan semangat untuk bakti kepada kedua orang tua adalah dengan mengingat keindahan masa lalu dan kebaikan yang tidak pernah putus. Ingatan seperti ini dapat membantu seseorang untuk berbakti (kepada kedua orang tuanya) sehingga dia terjauhkan dari sikap durhaka dan memutuskan hubungan kekeluargaan.

Perhatikanlah firman Allâh Azza wa Jalla :

وَوَصَّيْنَا الْاِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِۚ حَمَلَتْهُ اُمُّهٗ وَهْنًا عَلٰى وَهْنٍ وَّفِصَالُهٗ فِيْ عَامَيْنِ

Dan Kami perintahkan kepada manusia (untuk berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun.

Yaitu, ingatlah wahai anak manusia ! Apa yang telah terjadi pada diri ibumu, seperti: kasing sayangnya, saat-saat dia mengandung, menyusui dan mendidikmu ! Ingatlah ketika beliau hamil dan merasakan berbagai macam kesakitan dan kelelahan ! Saat engkau berada dalam rahim ibu dalam waktu yang tidak singkat, engkau adalah beban berat yang terus dibawa dalam perutnya selama sembilan bulan. Engkau menyebabkan dia merasakan kesulitan saat beliau hendak berdiri, duduk dan tidur.

Kemudian ingatlah, ketika ibumu melahirkanmu. ! Betapa berat penderitaan yang dirasakan oleh ibumu sampai engkau keluar menuju kehidupan ini.

Kemudian ingatlah ketika ibumu menyusuimu ! Ingatlah apa yang dirasakannya berupa kelelahan, rasa sakit dan penat dan kurang tidur.

Ini semuanya adalah kebaikan yang tidak sepantasnya terlupakan atau hilang dari ingatan.

Faidah Kesembilan Belas
Di antara yang juga dapat membantu untuk mewujudkan bakti (kepada kedua orang tua) adalah dengan mengingat tempat kembali kita disisi Allâh Azza wa Jalla . Orang yang berbakti kepada kedua orang tuanya, dia akan kembali kepada Allâh Azza wa Jalla . Dia akan mendapatkan balasan perbuatan baik dan baktinya itu. Dengan demikian, dia akan semakin berbakti dan berbuat baik (kepada kedua orang tuanya).

Sedangkan orang yang durhaka (kepada kedua orang tuanya), maka dia akan kembali kepada Allâh Azza wa Jalla dan akan mendapatkan hukuman akibat kedurhakaannya itu, sehingga dia akan merasa ngeri untuk berbuat durhaka kepada keduanya. Faidah ini dipetik dari firman-Nya :

اِلَيَّ الْمَصِيْرُ

Hanya kepada-Ku-lah kamu kembali

Faidah Kedua Puluh
(Di dalam ayat ini dijelaskan tentang) besarnya hak seorang ibu. Sesungguhnya ibu adalah manusia yang paling utama untuk mendapatkan bakti dari anaknya dan dia merupakan wanita yang paling berhak untuk mendapatkan perlakuan yang baik dari anaknya. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa seseorang bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dia berkata:

( يَا رَسُولَ اللهِ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي؟ قَالَ: (أُمُّكَ). قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: (ثُمَّ أُمُّكَ). قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: (ثُمَّ أُمُّكَ). قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: (ثُمَّ أَبُوكَ).

Ya Rasûlullâh, siapakah orang yang paling berhak untuk saya perlakukan dengan baik ?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Dia pun bertanya, ‘Kemudian siapa ?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Ibumu’ Dia pun bertanya lagi, ‘Kemudian siapa ?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Ibumu.’ Dia pun bertanya lagi, ‘Kemudian siapa ?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Kemudian ayahmu.’[7]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut ibu sebanyak tiga kali, karena dia adalah orang yang paling berhak dan paling utama untuk mendapatkan perlakuan yang baik. Ditambah lagi, kebaikan yang didapatkan oleh sang anak dari ibunya tidak akan ada yang bisa menyamainya atau bahkan mendekatinya.

Oleh karena itu, sebagian Ulama mengatakan, “Sesungguhnya pada ayat ini terdapat dalil dan pendukung terhadap perkataan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya : Ibumu, kemudian ibumu, kemudian ibumu

Kenapa demikian ? Karena dalam ayat ini, Allâh Azza wa Jalla menyebutkan tiga tingkatan kebaikan yang diberikan oleh sang ibu kepada anaknya :

  • Pertama : kebaikannya sebagai seorang ibu  (وأُمُّهُ) 
  • Kedua    : Kebaikannya saat mengandung   (حَمَلَتْهُ) 
  • Ketiga    : Kebaikannya saat menyusui   (وَفِصَالُهُ) 

Inilah tiga tingkatan kebaikan yang berasal dari seorang ibu yang tidak bisa didapatkan (dari selainnya), tidak bisa didapatkan dari seorang ayah, juga dari semua orang yang pernah berbuat baik kepada anak tersebut.

Kondisi ini menuntut seorang anak agar berusaha membalas kebaikan tersebut dengan kebaikan juga. Ini pulalah yang menyebabkan sang ibu menjadi orang yang paling berhak untuk menerima perlakukan yang baik.

Namun sangat disayangkan dan ini adalah musibah besar, kita dapati sebagian orang yang telah mendapatkan berbagai kebaikan yang tak pernah terputus dari sang ibu, namun ia memberikan bakti, kelemahlembutan dan perbuatan baiknya kepada orang-orang yang belum tentu pernah memberikan sepersepuluh dari kebaikan yang diberikan oleh sang ibu, akan tetapi, berbagai kebaikan kepada orang itu tidak berlaku sedikit pun kepada sang ibu. Kalaupun dia memberikan kebaikan kepada sang ibu, maka kebaikan itu hanya limpahan saja dan itu pun sedikit dan jarang.

Inikah cara membalas jasa dan kebaikan serta berterima kasih kepada orang-orang yang telah berbuat baik ?

Oleh karena itu, durhaka kepada sang ibu termasuk dosa yang paling besar dan perbuatan yang paling hina. Bagaimana mungkin seseorang akan durhaka kepada ibunya, sedangkan ibunya adalah orang yang paling banyak memberikan kebaikan dan kedermawanan kepadanya ?!

Faidah Kedua Puluh Satu
Sesungguhnya apa yang pernah dirasakan oleh seorang ibu, berupa: kesusahan dan kelelahan ketika hamil dan melahirkan adalah hal yang tidak akan pernah bisa dibalas oleh si anak meskipun dia berusaha untuk berbakti dan bersungguh-sungguh (untuk membalasnya).

Faidah Kedua Puluh Dua
Sesungguhnya didampingkannya hak kedua orang tua dengan hak Allâh (pada ayat ini) menunjukkan betapa tinggi kedudukan hak mereka berdua. Hak mereka termasuk hak yang paling wajib untuk dipenuhi setelah hak Allâh Azza wa Jalla .

Penyebutan hak kedua orang yang didampingkan dengan hak Allâh Azza wa Jalla dalam al-Qur’an banyak ditemukan.

Faidah Kedua Puluh Tiga
Sesungguhnya bersyukur kepada kedua orang tua dapat dilakukan dengan mencintai, mendo’akan, manyambung silaturahmi dan berbuat baik kepada mereka berdua.

Faidah Kedua Puluh Empat
(Pada ayat ini terdapat penjelasan tentang) bahaya durhaka kepada kedua orang tua. Kedurhakaan tersebut termasuk dosa yang paling besar dan paling tercela.

Dalam Shahîhain dari hadits Abu Bakrah Radhiyallahu anhu, dia berkata, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

( أَلاَ أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ؟) –ثَلاَثًا- قَالُوا: بَلَى يَا رَسُولَ اللهِ! قَالَ: (الإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ) -وَجَلَسَ ، وَكَانَ مُتَّكِئًا- فَقَالَ: (أَلاَ وَقَوْلُ الزُّورِ) قَالَ: فَمَا زَالَ يُكَرِّرُهَا حَتَّى قُلْنَا لَيْتَهُ سَكَتَ.

‘Maukah kalian saya kabarkan tentang dosa-dosa besar yang paling besar?’ Para Sahabat pun berkata, ‘Ya.’ Beliau n sabda, “Berbuat syirik kepada Allâh, durhaka kepada orang tua.” Kemudian beliau pun duduk setelah tadinya berbaring, beliau mengatakan, “Ketahuilah, dan juga perkataan dusta.” Abu Bakrah mengatakan, “Beliau terus-menerus mengulang. [HR al-Bukhâri no. 2654 dan Muslim no. 87]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XVI/1433H/2012M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1]  Diterjemahkan dari buku beliau yang berjudul ‘Fawâidu Mustanbathah min Qishshati Luqman al-Hakîm’ oleh Abu Ahmad Said Yai. Di akhir buku ini beliau berkata, “Asal dari tulisan ini adalah sebuah ceramah yang saya sampaikan di Komplek al-Haramain Asy-Syariifain, kota Hâil, pada hari Rabu, tanggal 28 Muharram 1426 H. Ceramah ini kemudian diketik dari kaset dan saya lakukan sedikit pengeditan. Saya lebih memilih penulisannya tetap seperti ceramah tersebut. Hanya Allah-lah yang memberi taufiiq.”
[2] (Yaitu panggilan yang sangat halus ketika memanggil seorang anak dalam bahasa Arab dari dulu sampai saat ini-Pent.)
[3] (Yaitu panggilan yang sangat kasar ketika memanggil seorang anak dalam bahasa Arab saat ini-Pent.)
[4] Diriwayatkan oleh Ahmad no. 22119, Abu Dawud no. 1522 dan an-Nasâi dalam al-Kubrâ no. 9937. Syaikh al-Albâni menshahîhkannya dalam Shahîhul Jâmi’ no. 7969.
[5] HR al-Bukhâri no. 1389 dan 6937 dan Muslim no. 19 dari hadits Ibnu ‘Abbâs Radhiyallauh anhuma
[6] HR Ahmad no. 17606 dan al-Hâkim (IV/276), al-Hâkim menshahîhkannya dan disetujui oleh adz-Dzahabi rahimahullah. Lihat ash-Shahîhah no. 904.
[7] HR al-Bukhâri no. 5971 dan Muslim no. 2548 dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/69530-50-faidah-dari-kisah-luqman-al-hakim2.html